Rabu, 10 April 2013

PENCA SILEK (PENCAK SILAT)

      Silek Minangkabau atau (bahasa Indonesia: silat Minangkabau) adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar. Wilayah Minangkabau di bagian tengah Sumatera sebagaimana daerah di kawasan Nusantara lainnya adalah daerah yang subur dan produsen rempah-rempah penting sejak abad pertama Masehi, oleh sebab itu, tentu saja ancaman-ancaman keamanan bisa saja datang dari pihak pendatang ke kawasan Nusantara ini. Jadi secara fungsinya silat dapat dibedakan menjadi dua yakni sebagai
panjago diri (pembelaan diri dari serangan musuh), dan
parik paga dalam nagari (sistem pertahanan negeri).


Untuk dua alasan ini, maka masyarakat Minangkabau pada tempo dahulunya perlu memiliki sistem pertahanan yang baik untuk mempertahankan diri dan negerinya dari ancaman musuh kapan saja. Silek tidak saja sebagai alat untuk beladiri, tapi juga mengilhami atau menjadi dasar gerakan berbagai tarian dan randai (drama Minangkabau)
      Emral Djamal Dt Rajo Mudo (2007) pernah menjelaskan bahwa pengembangan gerakan silat menjadi seni adalah strategi dari nenek moyang Minangkabau agar silat selalu diulang-ulang di dalam masa damai dan sekaligus untuk penyaluran "energi" silat yang cenderung panas dan keras agar menjadi lembut dan tenang. Sementara itu, jika dipandang dari sisi istilah, kata pencak silat di dalam pengertian para tuo silek (guru besar silat) adalah mancak dan silek. Perbedaan dari kata itu adalah:
Kata mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan.
Kata silek itu sendiri bukanlah untuk tari-tarian itu lagi, melainkan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.


Para tuo silek juga mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek dimuko musuah (jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh. Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi Minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan. Kedua tuo silek itu hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi tuo silek yang "kalah".        Dalam praktik sehari-hari, jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak), padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat). Inilah sifat rendah hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing, mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan. Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.


Ada pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek pun ada yang menganggap berasal dari siliek, atau si liat, karena demikian hebatnya berkelit dan licin seperti belut. Di tiap Nagari memiliki tempat belajar silat atau dinamakan juga sasaran silek, dipimpin oleh guru yang dinamakan Tuo Silek. Tuo silek ini memiliki tangan kanan yang bertugas membantu beliau mengajari para pemula.
Orang yang mahir bermain silat dinamakan pandeka (pendekar). Gelar Pandeka ini pada zaman dahulunya dilewakan (dikukuhkan) secara adat oleh ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Namun pada zaman penjajahan gelar dibekukan oleh pemerintah Belanda. Setelah lebih dari seratus tahun dibekukan, masyarakat adat Koto Tangah, Kota Padang akhirnya mengukuhkan kembali gelar Pandeka pada tahun 2000-an. Pandeka ini memiliki peranan sebagai parik paga dalam nagari (penjaga keamanan negeri), sehingga mereka dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman dan tentram. Pada awal tahun ini (7 Januari 2009), Walikota Padang, H. Fauzi Bahar digelari Pandeka Rajo Nan Sati oleh Niniak Mamak (Pemuka Adat) Koto Tangah, Kota Padang. Gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas upaya beliau menggiatkan kembali aktivitas silek tradisional di kawasan Kota Padang dan memang beliau adalah pesilat juga pada masa mudanya, sehingga gelar itu layak diberikan.



Kajian sejarah silek memang rumit karena diterima dari mulut ke mulut, pernah seorang guru diwawancarai bahwa dia sama sekali tidak tahu siapa buyut gurunya. Bukti tertulis kebanyakan tidak ada. Seorang Tuo Silek dari Pauah, Kota Padang, cuma mengatakan bahwa dahulu silat ini diwariskan dari seorang kusir bendi (andong) dari Limau Kapeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Seorang guru silek dari Sijunjung, Sumatera Barat mengatakan bahwa ilmu silat yang dia dapatkan berasal dari Lintau. Ada lagi Tuo Silek yang dikenal dengan nama Angku Budua mengatakan bahwa silat ini beliau peroleh dari Koto Anau, Kabupaten Solok. Daerah Koto Anau, Bayang dan Banda Sapuluah di Kabupaten Pesisir Selatan, Pauah di Kota Padang atau Lintau pada masa lalunya adalah daerah penting di wilayah Minangkabau. Daerah Solok misalnya adalah daerah pertahanan kerajaan Minangkabau menghadapi serangan musuh dari darat, sedangkan daerah Pesisir adalah daerah pertahanan menghadapi serangan musuh dari laut. Tidak terlalu banyak guru-guru silek yang bisa menyebutkan ranji guru-guru mereka secara lengkap.
Jika dirujuk dari buku berjudul Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa para pendiri dari Silek (Silat) di Minangkabau adalah
Datuak Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan, Padangpanjang, Sumatera Barat.
Kambiang Utan (diperkirakan berasal dari Kamboja),
Harimau Campo (diperkirakan berasal dari daerah Champa),
Kuciang Siam (diperkirakan datang dari Siam atau Thailand) dan
Anjiang Mualim (diperkirakan datang dari Persia).
Di masa Datuak Suri Dirajo inilah silek Minangkabau pertama kali diramu dan tentu saja gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut mewarnai silek itu sendiri[9]. Nama-nama mereka memang seperti nama hewan (Kambing, Harimau, Kucing dan Anjing), namun tentu saja mereka adalah manusia, bukan hewan menurut persangkaan beberapa orang. Asal muasal Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim memang sampai sekarang membutuhkan kajian lebih dalam dari mana sebenarnya mereka berasal karena nama mereka tidak menunjukkan tempat secara khas. Mengingat hubungan perdagangan yang berumur ratusan sampai ribuan tahun antara pesisir pantai barat kawasan Minangkabau (Tiku, Pariaman, Air Bangis, Bandar Sepuluh dan Kerajaan Indrapura) dengan Gujarat (India), Persia (Iran dan sekitarnya), Hadhramaut (Yaman), Mesir, Campa (Vietnam sekarang) dan bahkan sampai ke Madagaskar di masa lalu, bukan tidak mungkin silat Minangkabau memiliki pengaruh dari beladiri yang mereka miliki. Sementara itu, dari pantai timur Sumatera melalui sungai dari Provinsi Riau yang memiliki hulu ke wilayah Sumatera Barat (Minangkabau) sekarang, maka hubungan beladiri Minangkabau dengan beladiri dari Cina, Siam dan Champa bisa terjadi karena jalur perdagangan, agama, ekonomi, dan politik. Beladiri adalah produk budaya yang terus berkembang berdasarkan kebutuhan di masa itu. Perpaduan dan pembauran antar beladiri sangat mungkin terjadi. Bagaimana perpaduan ini terjadi membutuhkan kajian lebih jauh. Awal dari penelitian itu bisa saja diawali dari hubungan genetik antara masyarakat di Minangkabau dengan bangsa-bangsa yang disebutkan di atas.
Jadi boleh dikatakan bahwa silat di Minangkabau adalah kombinasi dari ilmu beladiri lokal, ditambah dengan beladiri yang datang dari luar kawasan Nusantara. Jika ditelusuri lebih lanjut, diketahui bahwa langkah silat di Minangkabau yang khas itu adalah buah karya mereka. Langkah silat Minangkabau sederhana saja, namun di balik langkah sederhana itu, terkandung kecerdasan yang tinggi dari para penggagas ratusan tahun yang lampau. Mereka telah membuat langkah itu sedemikian rupa sehingga silek menjadi plastis untuk dikembangkan menjadi lebih rumit. Guru-guru silek atau pandeka yang lihai adalah orang yang benar-benar paham rahasia dari langkah silat yang sederhana itu, sehingga mereka bisa mengolahnya menjadi bentuk-bentuk gerakan silat sampai tidak hingga jumlahnya. Kiat yang demikian tergambar di dalam pepatah jiko dibalun sagadang bijo labu, jiko dikambang saleba alam (jika disimpulkan hanya sebesar biji labu, jika diuraikan akan menjadi selebar alam)

Penyebaran Silek

Sifat perantau dari masyarakat Minangkabau telah membuat silek Minangkabau sekarang tersebar ke mana-mana di seluruh dunia. Pada masa dahulunya, para perantau ini memiliki bekal beladiri yang cukup dan ke mana pun mereka pergi mereka juga sering membuka sasaran silat (perguruan silat) di daerah rantau dan mengajarkan penduduk setempat beladiri milik mereka. Mereka biasanya lebur dengan penduduk sekitar karena ada semacam pepatah di Minangkabau yang mengharuskan mereka berbaur dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Bunyi pepatah itu adalah dima bumi dipijak di situ langik dijunjuang, dima rantiang dipatah di situ aia disauak (Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana rantiang dipatah di situ air disauk). Pepatah ini mengharuskan perantau Minang untuk menghargai budaya lokal dan membuka peluang silat Minangkabau di perantauan mengalami modifikasi akibat pengaruh dari beladiri masyarakat setempat dan terbentuklah genre atau aliran baru yang bisa dikatakan khas untuk daerah tersebut. Silek Minangkabau juga menyebar karena diajarkan kepada pendatang yang dahulunya berdiam di Ranah Minang. Jadi dapat dikatakan bahwa silek itu menyebar ke luar wilayah Minangkabau karena sifat perantau dari masyarakat Minangkabau itu sendiri dan karena diajarkan kepada pendatang.
Penyebaran dan pengaruh silek di dalam negeri
Silek yang menyebar ke daerah rantau (luar kawasan Minangkabau) ada yang masih mempertahankan format aslinya ada yang telah menyatu dengan aliran silat lain di kawasan Nusantara. Beberapa perguruan silat menyatukan unsur-unsur silat di Nusantara dan Silek Minang masuk ke dalam jenis silat yang memengaruhi gerakan silat mereka. Beberapa contoh yang dapat diberikan adalah:
Silek 21 Hari atau dikenal juga dengan nama Silek Pusako Minang : Silat ini berkembang di wilayah perbatasan antara Pasaman dan Provinsi Riau. Silat ini masih jarang diungkapkan di dalam kajian Silek Minangkabau jadi keterangan tentang silat ini masih terbatas dan dalam penelitian. Silat ini lebih menekankan aspek spiritual dan berasal dari kalangan pengamal tarekat di Minangkabau. Saat ini masih ada keturunan Pagaruyung Minangkabau yang mengajarkan silat ini di beberapa kawasan di Provinsi Riau, seperti di Rokan Hulu (Kuntu Darussalam), Mandau Duri, Rokan Hilir, dan Perawang. Silat ini tergolong jenis yang ditakuti di daerah tersebut dan juga berkembang sampai ke Malaysia .
Silat Sabandar dari Tanah Sunda dikembangkan oleh perantau Minangkabau yang bernama Mohammad Kosim di Kampung Sabandar, Jawa Barat. Silek ini disegani di Tanah Sunda. Seiring dengan perkembangan dan pembauran dengan tradisi silat di Tanah Sunda, silat ini telah mengalami variasi sehingga bentuknya menjadi khas untuk daerah tersebut.
Silat Pangian di Kuantan Singgigi, Provinsi Riau, terdiri dari Silek Pangian Jantan dan Silek Pangian Batino. Silek Pangian ini asalnya dari daerah Pangian, Lintau, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Silek ini adalah silek yang legendaris dan disegani dari wilayah Kuantan. Di Kuantan tentu saja silek ini telah mengalami perkembangan dan menjadi ciri khas dari tradisi wilayah tersebut. Awalnya pendiri dari silek ini adalah petinggi dari kerajaan Minangkabau yang pergi ke daerah Kuantan.
Silek Minangkabau menyebar ke daerah Deli (sekitar Medan) di Pesisir Timur Propinsi Sumatera Utara akibat migrasi penduduk Minangkabau di masa lalu . Saat sekarang tradisi silat itu masih ada.
Perguruan Silat Setia Hati, adalah perguruan besar dari Tanah Jawa. Pada masa dahulunya, pendiri dari perguruan ini, Ki Ngabei Ageng Soerodiwirdjo banyak belajar dari silek Minangkabau di samping belajar dari berbagai aliran dari silat di Tanah Sunda, Betawi, Aceh, dan kawasan lain di Nusantara. Silek Minangkabau telah menjadi unsur penting dalam jurus-jurus Perguruan Setia Hati. Setidaknya hampir semua aliran silek penting di Minangkabau telah beliau pelajari selama di Sumatera Barat pada tahun 1894-1898. Beliau adalah tokoh yang menghargai sumber keilmuannya, sehingga beliau memberi nama setiap jurus yang diajarkannya dengan sumber asal gerakan itu. Beliau memiliki watak pendekar yang mulia dan menghargai guru.
Silat Perisai Diri, yang didirikan oleh RM Soebandiman Dirdjoatmodjo atau dikenal dengan Pak Dirdjo, memiliki beberapa unsur Minangkabau di dalam gerakannya. Silat Perisai Diri memiliki karakter silat tersendiri yang merupakan hasil kreativitas gemilang dari pendirinya. Perisai Diri termasuk perguruan silat terbesar di Indonesia dengan cabang di berbagai negara.
Satria Muda Indonesia, yang pada awalnya berasal dari Perguruan Silat Baringan Sakti yang mengajarkan silek Minangkabau, kemudian berkembang dengan menarik berbagai aliran silat di Indonesia ke dalam perguruannya.
Silat Baginda di Sulawesi Utara adalah silat yang berasal dari pengawal Tuanku Iman Bonjol yang bernama Bagindo Tan Labiah (Tan Lobe) yang dibuang ke Manado pada tahun 1840. Tan Labiah meninggal dunia pada tahun 1888.

Penyebaran silek di luar negeri

Singapura : Posisi Singapura atau dahulu disebut Tumasik yang strategis membuat wilayah ini dikunjungi oleh berbagai bangsa semenjak dahulu kala. Silek Minangkabau telah menyebar ke sana pada tahun 1160 dengan ditandainya gelombang migrasi bangsa Melayu dari Minangkabau
Malaysia: Penyebaran Silek Minangkabau di Negeri Malaysia terjadi terutama akibat migrasi penduduk Minangkabau ke Malaka pada abad ke 16 dan juga karena adanya koloni Minangkabau di Negeri Sembilan. Silek Pangian, Sitaralak, Silek Luncur juga berkembang di negeri jiran ini. Silat Cekak, salah satu perguruan silat terbesar di Malaysia juga memiliki unsur-unsur aliran silek Minangkabau, seperti silek Luncua, Sitaralak, kuncian Kumango dan Lintau di dalam materi pelajarannya. Posisi Malaysia yang rawan dari serangan berbagai bangsa terutama bangsa Thai membuat mereka perlu merancang sistem beladiri efektif yang merupakan gabungan antara beladiri Aceh dan Minangkabau. Beberapa perguruan silat menggunakan nama Minang atau Minangkabau di dalam nama perguruannya
Filipina: Penyebaran Islam ke Mindanao, yang dilakukan oleh Raja Baginda, keturunan Minangkabau dari Kepulauan Sulu pada tahun 1390. Penyebaran ini mungkin akan mengakibatkan penyebaran budaya Minangkabau, termasuk silat ke wilayah Mindanao. Bukti-buktinya masih perlu dikaji lebih dalam
Brunei Darussalam: Penyebaran Silek ke Brunei seiring dengan perjalanan bangsawan dan penduduk Minangkabau ke Negeri Brunei. Seperti yang sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, bahwa silek adalah bagian dari budaya Minangkabau, oleh sebab itu mereka yang pergi merantau akan membawa ilmu beladiri ini ke mana pun, termasuk ke Brunei Darussalam. Kajian hubungan silek Minangkabau dan Brunei masih dibutuhkan, namun yang pasti, para pemuka kerajaan Brunei memiliki pertalian ranji dengan raja-raja di Minangkabau. Ada dugaan bahwa Awang Alak Betatar, pendiri kerajaan Brunei (1363-1402) yang gagah berani berasal dari Minangkabau karena gelar-gelar dari saudara-saudara beliau mirip dengan gelar-gelar dari Minangkabau, namun catatan tertulis diketahui bahwa migrasi masyarakat Minangkabau berawal dari pemerintahan Sultan Nasruddin Sultan Brunei ke-15) tahun 1690-1710 yang ditandai dengan tokoh yang bernama Dato Godam (Datuk Godam) atau Raja Umar dari keturunan Bandaro Tanjung Sungayang, Pagaruyung
Austria: Perguruan sileknya bernama PMG=Sentak, dikembangkan oleh Pandeka Mihar
Spanyol: Perguruan sileknya bernama Harimau Minangkabau, dikembangkan oleh Guru Hanafi di kota Basque
Belanda:
Silek Tuo dikembangkan oleh Doeby Usman,
Satria Muda, dikembangkan oleh Cherry dan Nick Smith pada 1971. Mereka adalah murid dari dari Guru W. Thomson,
Paulu Sembilan, Silat dari Pauh Sembilan Kota Padang
Hongkong: Perguruannya bernama Black Triangle Silat dikembangkan Pendekar Scott McQuaid. Pendekar Scott adalah termasuk dalam jalur waris dari guru Hanafi, sama dengan Guru de-Bordes di Ghana.
Amerika Serikat:
Bapak Waleed adalah salah satu tokoh yang mengembangkan silek Minangkabau di USA,
Baringin Sakti yang dikembangkan oleh Guru Eric Kruk,
Perancis: Perguruannya bernama Saudara Kaum dikembangkan oleh Haji Syofyan Nadar. Perguruan ini juga memiliki guru mengajarkan silat dari Tanah Sunda seperti Maenpo Cianjur (Sabandar, Cikalong dan Cikaret) dan Silat Garis Paksi.
Ghana, Afrika: Perguruannya bernama Harimau Minangkabau dikembangkan oleh Guru de-Bordes yang belajar ke Guru Hanafi dengan permainan silat harimau.

Proses Berguru

Jika seseorang ingin belajar silek, maka ia bisa datang sendiri atau biasanya diantar oleh teman, bapak atau mamak (saudara laki-laki dari ibu) kepada seorang guru, jika di kalangan keluarga mereka tidak ada yang bisa bermain silat dengan baik. Setelah berbasa basi, maka nanti si calon murid datang pada waktu yang ditentukan dengan membawa benda-benda tertentu.

Syarat-syarat berguru

Syarat-syarat berguru ini bervariasi pula, namun biasanya terdiri dari pisau, kain putih, lado kutu (cabe rawit), garam, gula, jarum jahit, cermin, rokok, beras, uang, dan baju silat satu stel (Endong sapatagak). Jumlah uang biasanya tidak ditentukan. Apa yang dibawa mempunyai arti tersendiri bagi calon murid. Biasanya diterangkan pada saat prosesi penerimaan murid.
Beberapa contoh dari arti syarat-syarat yang dibawa itu adalah
kain putiah (kain putih) : pakaian murid itu adalah pakaian yang bersih, silek ini akan menjadi pakaian bagi murid, merupakan pakaian yang bersih
pisau : setelah latihan ini, maka si murid tidak akan dilukai oleh pisau, karena memiliki ilmu setajam pisau
lado kutu (cawe rawit), garam dan gulo(gula) : ilmu silat ini memakai raso (rasa), karena semakin mahir orang melakukan sesuatu biasanya mereka tidak berpikir lagi, tapi menggunakan raso (perasaan). Contoh, ahli masak terkenal jarang menimbang bahan-bahan yang mereka butuhkan, tapi tetap juga menghasilkan masakan yang enak dan khas, seperti itu pulalah silat nantinya pada tingkat mahir.
endong sapatagak (Baju Silat satu Stel) : Untuk mengajar silat kepada anak sasiannya (murid) seorang guru memerlukan pakaian silat yang bagus yang bisa dipakai selama melatih muridnya sampai tamat (Putuih Kaji), maka sudah sepatutnya dan sepantasnya bagi seorang murid untuk menyediakan seragam latihan bagi gurunya untuk melatih para muridnya,jangan sampai malah merepotkan guru yang akan menurunkan ilmunya kepada muridnya.
bareh jo pitih (beras dan uang) : belajar silat akan menyita waktu guru, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi murid mempertimbangkan nilai dari waktu yang dihabiskan oleh guru. Di samping itu beras yang dibawa juga akan dimakan bersama sesama anggota sasaran silek (tempat berlatih silat dinamai sasaran ada juga yang menyebut laman ). Nilai uang dan beras tidak ditentukan jumlahnya. Namun setidaknya beras itu dibawa satu atau dua liter, sedangkah untuk uang, itu terpulang kepada kemampuan ekonomi si murid untuk mempertimbangkannya

Proses Penerimaan Murid

Ada bermacam cara dalam menerima anak sasian (murid), seperti yang sudah disebutkan di atas, si murid diminta untuk membawa bahan-bahan tertentu pada hari yang dijanjikan dan juga diminta membawa seekor ayam jantan untuk satu orang murid. Ayam ini nanti disembelih oleh guru dan kemudian darahnya dicecerkan mengelilingi sasaran, dalam prosesi pemotongan ayam ini seorang guru sudah bisa melihat dan membaca maksud dari seorang murid dalam belajar silat baik dari segi niatnya, karakternya, minat, bakat, dan kemauan dari seorang calon murid ini.
Ada beberapa pertanda yang dilihat guru pada saat prosesi pemotongan ayam ini di antaranya:
Setelah di sembelih ayam tersebut akan di lemparkan ke dalam sasaran,lama atau sebentarnya ayam tersebut meregang nyawa sampai mati, itu memperlihatkan sebuah pertanda minat,bakat dan kemauan dari sang calon murid untuk belajar silat.
Dari posisi matinya ayam, seorang guru bisa membaca pertanda dari niat dan karakter seorang murid, posisi matinya ayam menghadap ke mana dan apakah posisi matinya di luar lingkaran atau di dalam lingkaran itu adalah sebuah pertanda yang bisa dibaca oleh seorang guru, dan juga apabila pada saat meregang nyawa ayam tersebut menerjang kearah sang guru, maka itu juga sebuah pertanda bagi sang guru tentang niat dan karakter calon murid tersebut, sehingga seorang guru silat sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi nanti dan seperti apa dan sampai sejauh mana pelajaran silat yang bisa diberikan sang guru kepada murid tersebut nantinya.
Ayam tersebut kemudian dimasak, biasanya digulai dan dihidangkan dalam acara mandoa (doa) yang dihadiri oleh guru dan para saudara seperguruan. Untuk acara ini dipanggil pula Urang Siak (sebutan untuk orang ahli agama) untuk mendoakan si murid agar mendapatkan kebaikan selama mengikuti latihan. Kemudian, pada saat makan bersama, sang guru akan mengupas kepala ayam tersebut untuk mengambil tulang rawan yang berada di bawah lidah atau rahang ayam tersebut, dari tulang rawan tersebut seorang guru juga bisa membaca sebuah pertanda tentang niat dan kemauan sang murid untuk belajar silat tersebut.
Biasanya di dalam ritual penerimaan seorang murid, si murid ini diambil sumpahnya untuk patuh kepada guru dan tidak menggunakan ilmu yang mereka dapatkan ini untuk berbuat keonaran. Bahkan bunyi sumpah itu keras sekali. Inilah potongan bunyi sumpah itu : kaateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang (ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat dan di tengah-tengah dimakan kumbang), artinya pelanggar sumpah tidak akan pernah mendapatkan hidup yang baik selama hidupnya di dunia seperti yang diibaratkan nasib suatu pohon yang merana. Ada juga prosesi dari perguruan silat tradisi waktu baru masuk perguruan tersebut dianjurkan mandi dengan tujuh macam limau/jeruk bahkan ada juga dengan 7 macam bunga. waktu mandinya ada yang sore hari dan ada juga setelah jam 12.00 malam.
Seperti yang berlaku pada perguruan beladiri manapun bahwa semenjak saat itu saudara seperguruan adalah seperti saudara sendiri. Di dalam istilah Minangkabau dikatakan bahwa saudara seperguruan itu saasok sakumayan (satu asap satu kemenyan) atau sabatin artinya dia adalah bagian dari diri kita dan berlaku hukum saling melindungi.
Prosesi ini tidak sama tiap sasaran silek, ada pula guru yang tidak meminta membawa apa-apa, sehingga tidak ada prosesi penerimaan murid seperti yang diuraikan di atas, tapi kasus ini jarang terjadi, umumnya selalu ada prosesi penerimaan murid apakah dalam bentuk sederhana bahkan sampai ada yang berbentuk upacara adat.

Jadwal Latihan

Guru menetapkan jadwal latihan silat dan biasanya malam hari. Murid boleh mengajukan waktu sepanjang guru tidak keberatan. Biasanya jadwal latihan malam hari setelah salat isya. Ada sasaran silek yang membolehkan latihan sebelum jam 12 malam. Lebih dari itu dilarang oleh gurunya karena sang guru meyakini lebih dari jam 12 malam adalah waktunya inyiak balang (harimau), sehingga tidak boleh untuk bersilat lagi. Tapi ada pula yang malah sebaliknya, bersilat itu dimulai dari lewat jam 12 malam sampai jam 4 pagi. Biasanya dilakukan dua atau tiga kali seminggu.
Pada tingkat lanjutan untuk mengambil gerakan silek harimau (silat harimau), malah sang guru yang biasanya suka latihan lewat jam 12 malam ini meminta muridnya untuk belajar siang hari. Gerakan dari silat harimau ini tidak sebanyak gerakan silat yang biasa guru ajarkan.
Ada sasaran silek yang lebih "privat". Guru tidak suka punya murid banyak-banyak, paling-paling muridnya cuma 4 orang saja atau sepasang. Murid tunggal juga diterima, dan ini langsung bersilat dengan gurunya. Khusus untuk murid tunggal, guru harus memiliki stamina yang baik, karena harus ikut bermain dengan murid dari awal sampai akhir.
Para murid biasanya membawa makanan untuk dimakan bersama, juga rokok, kopi atau teh dan gula saat hari latihan. Ada juga yang menyertakan dengan uang. Nilainya tidak ditentukan, murid sendirilah yang menentukan berapa nilainya.

Aliran


Ada banyak aliran yang berkembang di Ranah Minangkabau. Peneliti Silat, Hiltrud Cordes pernah melakukan penelitian, mengatakan ada sepuluh aliran utama Silek Minangkabau, yakni:  
* Silek Tuo (Silat Tua)                                                  
* Silek Sitaralak (Silat Sitaralak)                                
* Silek Luncua (Silat Luncur)          
* Silek Kumango (Silat Kumango)
* Silek Harimau (Silat Harimau
* Silek Ulu Ambek (Silat Ulu Ambek)
* Silek Baruah (Silat Baruh)
* Silek Gulo-Gulo Tareh (Silat Gulo-Gulo Tareh)
* Silek Pauah (Silat Pauh)
* Silek Sungai Patai (Silat Sungai Patai)
* Silek Lintau (Silat Lintau)

Silek Ulu Ambek menurut beliau tidak tergolong ke dalam aliran Silek karena lebih menekankan kekuatan batin daripada kontak fisik. Silek Sitaralak, Lintau, Kumango, Luncua terkenal sampai ke Malaysia. Silek sitaralak (disebut juga siterlak, terlak[36], sterlak, starlak) merupakan silat yang beraliran keras dan kuat. Ada beberapa nama aliran silat lain yang punya nama, yakni Silek Tiang Ampek, Silek Balubuih, Silek Pangian (berkembang di Kabupaten Kuantan Singingi) dan Buah Tarok dari Bayang, Pesisir Selatan. Asal usul dari aliran silat ini juga rumit dan penuh kontroversi, contoh Silek Tuo dan Sitaralak. Silek Tuo ada yang menganggap itu adalah versi silek paling tua, namun pendapat lain mengatakan bahwa silat itu berasal dari Tuanku Nan Tuo dari Kabupaten Agam. Tuanku Nan Tuo adalah anggota dari Harimau Nan Salapan, sebutan lain dari Kaum Paderi yang berjuang melawan Belanda di Sumatera Barat. Hubungan sitaralak dan Silek Tuo (silat paling tua) adalah kajian yang menarik untuk dikupas lebih dalam.
Gerakan silek itu diambil dari berbagai macam hewan yang ada di Minangkabau, contohnya Silek Harimau, Kucing dan Silek Buayo (Buaya), namun di dalam perkembangan silek selanjutnya, ada sasaran silek, umumnya silek yang berasal dari kalangan tarekat atau ulama agama Islam menghilangkan unsur-unsur gerakan hewan di dalam gerakan silek mereka karena dianggap bertentangan dengan unsur agama versi mereka.
Jika dilihat dari beberapa gerakan silat yang berada di Minangkabau, ada pola-pola yang dominan di dalam permainan mereka, yakni:
bersilat dengan posisi berdiri tegak
bersilat dengan posisi rendah
bersilat dengan posisi merayap di tanah
bersilat dengan posisi duduk (silek duduak)
Posisi permainan silat ini terjadi akibat kondisi lingkungan di mana silat itu berkembang, pada daerah yang tidak datar dan licin, mereka lebih suka menggunakan posisi rendah, sementara di daerah pantai yang berpasir, mereka lebih suka bersilat dengan posisi berdiri. Meskipun demikian, bukan berarti di daerah pesisir tidak mengenal permainan rendah.

Konsep

Alam takambang jadi guru adalah konsep universal dari budaya alam Minangkabau. Kata "alam",[38] berasal dari bahasa Sanskerta artinya sama dengan lingkungan kehidupan atau daerah.[39] Konsep ini juga diterjemahkan oleh para pendiri silat pada masa dahulunya menjadi gerakan-gerakan silat. Antara silat dan produk budaya lain di Minangkabau adalah satu kesatuan filosofis, jadi untuk menerangkan silat, pepatah-pepatah yang biasa diucapkan dalam upacara adat bisa digunakan.
Setiap nagari memiliki sasaran silek, ini adalah suatu keharusan, ibarat sebuah negara yang tidak mungkin tidak memiliki angkatan perang. Konsep nagari itu sama dengan konsep sebuah negara. Hubungan antara nagari dengan nagari sama halnya dengan hubungan antar negara. Alam Minangkabau adalah kesatuan pengikat antar nagari-nagari bahwa mereka merupakan satu konsep budaya. Secara budaya, yang dinamakan masyarakat Minangkabau mengaku berasal dari Gunung Marapi, tepatnya dari Nagari Pariangan, Sumatera Barat yakni suatu tempat yang disebut sebagai sawah gadang satampang baniah (sawah luas, setampang benih). Dari nagari itulah benih kebudayaan yang setampang digagas, disusun dan kemudian dikembangkan ke wilayah sekitarnya (luhak nan tiga). Oleh karena nagari di Minangkabau tidak obahnya seperti sebuah republik mini, semuanya lengkap dari wilayah, aparat pemerintah, pertahanan sampai penduduknya, maka hampir semua nagari memiliki sasaran silek, sehingga variasi dari gerakan-gerakan silat tidak dapat dihindari sama sekali.
Variasi dari gerakan silek terjadi karena:
Rentang waktu yang sedemikan lama dari awal silek ini dirumuskan
Pancarian surang-surang (penemuan baru oleh guru baik disengaja atau tidak)
Perbedaan minat
Hasil adu pandapek (hasil diskusi sesama pendekar)
Pengaruh dari beladiri lain
Meskipun demikian ada kesamaan konsep dari gerakan silat di Minangkabau. Oleh sebab itu kita dapat membedakan antara silat dari Minangkabau dan silat dari daerah lain di kawasan Nusantara.


2 komentar: